Rabu, 11 Juli 2012

GLAUKOMA

Definisi
Adalah suatu kelainan pada mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan dalam bola mata (Tekanan Intra Okular = TIO) yang disertai pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang. Penyakit ini disebabkan:
  • Bertambahnya produksi humor akueus (cairan mata) oleh badan siliar
  • Berkurangnya pengeluaran humor akueus (cairan mata) di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil.
Aliran Humor Akueus (cairan mata)
Terdapat 2 rute dalam pengeluaran humor akueus
  1. Melalui jaringan trabekular
      Sekitar 90% humor akueus dikeluarkan melalui jalur ini. Dari sini akueus akan disalurkan ke kanal schlemm kemudian berakir di vena episklera.
  1. Melalui jaringan uveoskleral
Mempertanggung jawaban 10% dari pengeluaran akueus .


Gambar 1. Aliran Humor Akues
Klasifikasi
            Terdapat beberapa pembagian glaukoma antara lain :
  1. glaukoma sudut terbuka (glaukoma kronis)
  2. glaukoma sudut tertutup (glaukoma akut)
Pemeriksaan penunjang untuk menilai glaukoma secara klinis
  1. Tonometri. Alat ini berguna untuk menilai tekanan intraokular. Tekanan bola mata normal berkisar antara 10-21 mmHg.
  2. Gonioskopi. Sudut bilik mata depan merupakan tempat penyaluran keluar humor akueus. Dengan gonioskopi kita berusaha menilai keadaan sudut tersebut, apakah terbuka, sempit atau tertutup ataukah terdapat abnormalitas pada sudut tersebut.
  3. Penilaian diskus optikus. Dengan menggunakan opthalmoskop kita bisa mengukur rasio cekungan-diskus (cup per disc ratio-CDR). CDR yang perlu diperhatikan jika ternyata melebihi 0,5 karena hal itu menunjukkan peningkatan tekanan intraokular yang signifikan.
  4. Pemeriksaan lapang pandang. Hal ini penting dilakukan untuk mendiagnosis dan menindaklanjuti pasien glaukoma. Lapang pandang glaukoma memang akan berkurang karena peningkatan TIO akan merusakan papil saraf optikus.
Glaukoma Akut
Merupakan glaukoma yang terjadi secara tiba-tiba dengan sumbatan aliran humor akueus yang lebih komplit. Nama lainnya adalah glaukoma sudut tertutup primer.

Epidemiologi
Terjadi pada 1 dari 1000 orang yang berusia di atas 40 tahun dengan angka kejadian yang bertambah sesuai usia. Perbandingan wanita dan pria pada penyakit ini adalah 4:1. sering terjadi pada kedua mata.
Gejala
Gejala-gejala yang ada antara lain :
  • Keluhan :
    • penglihatan kabur  mendadak
    • nyeri hebat
    • mual
    • muntah
    • melihat halo (pelangi disekitar objek)
  • Pemeriksaan Fisik :
    • Visus sangat menurun
    • TIO meninggi
    • Mata merah
    • Kornea suram
    • Bilik mata depan dangkal
    • Rincian iris tidak tampak
    • Pupil sedikit memlebar, tidak bereaksi terhadap sinar
    • Diskus optikus terlihat merah dan bengkak
Penatalaksanaan
  • Terapi medikamentosa
Tujuannya adalah menurunkan TIO terutama dengan menggunakan obat sistemik (obat yang mempengaruhi seluruh tubuh)
A. obat sistemik
    • Inhibitor karbonik anhidrase. Pertama diberikan secara intravena (acetazolamide 500mg) kemudian diberikan dalam bentuk obat minum lepas lambat 250mg 2x sehari
    • Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia dalam bentuk obat minum adalah glycerol dan isosorbide sedangkan dalam bentuk intravena adalah manitol. Obat ini diberikan jika TIO sangat tinggi atau ketika acetazolamide sudah tidak efektif lagi.
    • Untuk gejala tambahan dapat diberikan anti nyeri dan anti muntah.
B. obat tetes mata lokal
    • Penyekat beta. Macam obat yang tersedia adalah timolol, betaxolol, levobunolol, carteolol, dan metipranolol. Digunakan 2x sehari, berguna untuk menurunkan TIO.
    • Steroid (prednison). Digunakan 4x sehari, berguna sebagai dekongestan mata. Diberikan sekitar 30-40 menit setelah terapi sistemik.
    • Miotikum. Pilokarpin 2% pertama digunakan sebanyak 2x  dengan jarak 15 menit kemudian diberikan 4x sehari. Pilokarpin 1% bisa digunakan sebagai pencegahan pada mata yang lainnya 4x sehari sampai sebelum iridektomi pencegahan dilakukan.
  • Terapi Bedah
    • Iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan depan karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus. Hal ini hanya dapat dilakukan jika sudut yang tertutup  sebanyak 50%.
    • Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal dengan iridektomi.
Glaukoma Kronis
Merupakan glaukoma yang terjadi perlahan-lahan dengan ciri-ciri :
    • Kerusakan seraf optikus glaukomatosa
    • Kerusakan lapangan pandang glaukomatosa
    • TIO beberapa kali berulang lebih tinggi dari 21 mmHg
    • Usia dewasa
    • Sudut bilik mata depan terbuka dan terkesan normal
    • Tidak adanya penyebab sekunder lainnya
Umumnya terjadi pada kedua mata akan tetapi tidak terdapat kesamaan pada perburukannya. Nama lainnya adalah glaukoma sudut terbuka primer.
Epidemiologi
Glaukoma kronis merupakan glaukoma yang tersering, mengenai sekitar 1 dari 200 seluruh populasi yang berusia lebih dari 40 tahun dan jumlahnya semakin meningkat sesuai dengan usia. Pria dan wanita mempunyai angka kejadian yang sama dan lebih sering mengenai kulit hitam dibandingkan kulit putih. Faktor keturunan juga berperan terjadinya keadaan ini karena TIO, cara pengeluaran akueus dan ukuran diskus optikus dipengaruhi oleh genetik. Secara umum risiko terjadinya glaukoma pada saudara kandung sekitar 10% sedangkan pada keturunan sebanyak 4%.
Gejala klinis
Dari keluhan pasien umumnya penglihatannya yang makin menurun. Bahkan jika berlangsung cukup lama pasien akan mengeluhkan kehilangan penglihatan pada salah satu mata sedangkan mata yang lainnya menurun penglihatannya. Hal ini sesuai dengan teori dimana glaukoma kronik dimana umumnya kedua mata akan terkena meski perburukan keduanya tidak sama. Selain itu karena TIO yang meningkat pasien juga akan mengeluhkan adanya nyeri pada mata, sakit kepala dan perasaan seperti melihat halo (pelangi di sekitar objek) karena pembengkakkan pada kornea.
 Gejala
  1. Penurunan lapang pandang
  2. Peningkatan TIO. Terdapat perbedaan 5 mmHg antara kedua mata perlu dicurigai adanya peningkatan yang abnormal.
  3. Sudut bilik mata depan terbuka
  4. Perubahan pada diskus optikus. Tampak kerusakan nervus optikus glaukomatosa atau terdapat ketidaksamaan pada cekungan pada pemeriksaan rutin.
  5. Tidak terdapat sebab lain yang dapat menyebabkan glaukoma kronik
Penatalaksanaan
  • Terapi obat-obatan
Terapi ini tidak diberikan pada kasus yang sudah lanjut. Terapi awal yang diberikan adalah penyekat beta (timolol, betaxolol, levobunolol, carteolol, dan metipranolol) atau simpatomimetik (adrenalin dan depriverin). Untuk mencegah efek samping obat diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi pemberiannya tidak boleh terlalu sering. Miotikum (pilocarpine dan carbachol) meski merupakan antiglaukoma yang baik tidak boleh digunakan karena efek sampingnya.
Jika pengobatan belum efektif maka dapat dilakukan peningkatan konsentrasi obat, mengganti jenis obat atau menambah dengan obat lain.
  • Terapi bedah
    • Trabekuloplasti jika TIO tetap tidak bisa terkontrol dengan pengobatan medikamentosa yang maksimal.
    • Trabekulotomi (bedah drainase) jika trabekuloplasti gagal, atau kontraindikasi dengan trabekuloplasti atau diperlukan TIO yang lebih rendah lagi.


Original Resource:
http://www.perdami.or.id/?page=news_seminat.detail&id=1

PTERYGIUM

A. DEFINISI
  • Suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif, yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di kornea dan bersifat bilateral.
  • Pterygium terletak di celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas menuju kornea.
  • Pterygium mudah meradang dan mengalami iritasi sehingga bagian pterygium berwarna merah.
B. ETIOLOGI
  • Diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.
C. FAKTOR RESIKO
  • Tinggal di daerah yang terkena sinar matahari (paling sering)
  • Daerah berdebu, berpasir, atau anginnya kencang dan besar
  • Laki-laki lebih banyak dibanding perempuan
  • Umur 20-40 tahun insidensi paling tinggi
D. PATOFISIOLOGI
  • Pada pterygium terjadi degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskuler dengan perubahan yang menutupi permukaan epitel.
  • Histopatologis:
  1. Kolagen abnormal pada daerah elastatik menunjukkan basofilik jika di cat dengan hematoksin dan eosin
  2. Epitel konjungtiva berubah menjadi irreguler dan kadang berubah menjadi gepeng.
  • Pada puncak pterygium, membrana bowman kornea diganti oleh jaringan hyalin dan elastis.
  • Stroma mengalami degenerasi yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah . Jaringan granulasi ini akan menekan kedalaman kornea.
  • Pada bentuk dini, pterygium susah dibedakan dengan pinguecula. Pada bagian puncak pterygium dini terlihat bercak-bercak kelabu dengan pemulasan Fuchs.
  • Pterygium berdasarkan pertumbuhannya, dibagi menjadi 4 stadium:
  1. Stadium 1 --> Puncak pterygium di limbus kornea.
  2. Stadium 2 --> Puncak pterygium mengenai kornea antara limbus dan pertengahan jarak limbus ke tepi pupil.
  3. Stadium 3 --> Puncak pterygium mengenai kornea antara pertengahan jarak limbus ke tepi pupil dan tepi pupil.
  4. Stadium 4 --> Puncak pterygium telah melewati tepi pupil.
  • Berdasarkan progesifitas pertumbuhannya:
  1. Stationer --> relatif tidak berkembang lagi (tipis, pucat dan atrofi)
  2. Progresif --> berkembang lebih besar dalam waktu singkat
E. TANDA DAN GEJALA
  • Pterygium jarang sampai menyebabkan kebutaan, tetapi keluhan iritasi dan kosmetik banyak sekali mengganggu pasien dan menjadikan alasan pasien untuk datang berobat.
  • Keluhan subyektif:
  1. Pemeriksaan kacamata --> karena gangguan penglihatan (astigmat)
  2. Adanya sesuatu yang tumbuh diatas korneanya
  3. Adanya lamat
  4. Rasa panas, gatal dan mengganjal
  5. Mata lekas merah dan berair
  • Pterygium dapat disertai keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung pterygium.
F.DIAGNOSA BANDING
  1. Pseudopterygium
  2. Pannus
  3. Kista Dermoid
G. PENATALAKSANAAN
  • Pembedahan pada pterygium dapat dilakukan atas indikasi:
  1. Pterygium tebal dengan puncak menutupi pupil
  2. Pterygium progresif dari aksis visual atau pertumbuhan yang cepat (>3-4mm)
  3. Sering iritasi
  4. Kosmetik
  5. Pergerakan bola mata yang terbatas
  • Tehnik pembedahan Pterygium:
  1. Bare Sclera (dengan atau tanpa obat anti metabolit) --> Tehnik pengangkatan (eksisi pterygium) dan jaringan sub konjungtiva. Tehnik ini pertama kali dilakukan cukup efektif, tetapi kekambuhan sesudah pembedahan masih relatif besar. Untuk mengurangi kekambuhan, umumnya diberikan bahan anti metabolit setelah pembedahan. Tetapi karena bahan ini relatif banyak menimbulkan komplikasi, maka jarang digunakan. Pada tehnik ini, tidak ada jahitan atau menggunakan benang adsorbableuntuk melekatkan konjungtica pada sklera superfisial didepan insersi tendon rektus, meninggalkan area sklera yang terbuka.


UVEITIS (RADANG UVEA)

Latar Belakang

Uveitis adalah suatu inflamasi pada traktus uvea. Uveitis banyak penyebabnya dan dapat terjadi pada satu atau semua bagian jaringan uvea. Pada kebanyakan kasus, penyebabnya tidak diketahui.
Penyakit peradangan pada traktus uvealis umumnya unilateral. Di dunia, rata-rata insiden penyakit ini sekitar 15 dari 100.000 jiwa. Biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan (20-50 tahun). Uveitis jarang terjadi pada anak dibawah umur 16 tahun, hanya sekitar 5% sampai 8% dari jumlah total. Kira-kira setengah dari jumlah anak yang mendreita uveitis umumnya uveitis posterior dan panuveitis. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam angka kesakitan.
Bentuk uveitis paling sering adalah uveitis anterior akut atau iritis yang umumnya unilateral dan ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia dan penglihatan kabur. Serta mata merah (merah sirkumkorneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil atau irreguler. Bentuk uveitis lainnya adalah uveitis posterior, intermediet, dan panuveitis.
       Penatalaksanaan uveitis tergantung pada penyebabnya. Biasanya disertakan kortikosteroid topikal atau sistemik dengan obat-obatan sikloplegik-midriatik dan/atau imunosupresan non kortikosteroid. Jika penyebabnya adalah infeksi diperlukan terapi antibiotik.
 Definisi

Uveitis adalah suatu inflamasi pada traktus uvea. Uveitis dapat diklasifikasikan menurut:
a. Anatomi:
  1. Uveitis anterior dibagi dalam dua kelompok:
    • Iritis: dimana inflamasi umumnya mengenai iris.
    • Iridocyclitis: dimana mengenai dari iris dan bagian anterior dari korpus ciliaris.
  2. Uveitis Intermediet adalah inflamasi dari uvea yang mengenai korpus ciliaris bagian posterior (Pars Plana), retina perifer dan sedikit koroid.
  3. Uveitis Posterior adalah inflamasi yang mengenai koroid dan retina posterior sampai ke dasar dari vitreus.
  4. Panuveitis adalah inflamasi yang mengenai selurh bagian dari badan uvea 
b. Gambaran klinik:
  1. Uveitis akut; gejala klinik yang terjadi secara mendadak dan menetap sampai tiga bulan .
  2. Uveitis kronik; Uveitis yang menetap hingga lebih dari tiga bulan dan biasanya asimtomatik, walaupun akut atau subakut dapat terjadi.
c. Etiologi:
  1. Uveitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sarkoidosis.
  2. Infeksi; bakteri, jamur, virus.
  3. Parasit: protozoa dan nematoda.
  4. Uveitis spesifik idiopatik; merupakan bagian dari penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan sistemik.
  5. Uveitis non spesifik non idiopatik.
d. Histopatologi
  1. Granulomatosa.
  2. Non-granuomatosa
Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun kadang – kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea. Apabila prespitat keratik ini besar disebut mutton fat.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang di dalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules.
Sel-sel radang, fibrin dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe. Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada kasus yang berlangsung kronis dapat terjadi gangguan produksi akuos humor yang menyebabkan penurunan tekanan bola mata sebagai akibat hipofungsi badan siliar.

2.3 Gambaran Klinik
1.Uveitis Anterior
a. Gejala subyektif
1) Nyeri :
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul. Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri.
2) Fotofobia dan lakrimasi
Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
3) Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat atau hilang timbul, tergantung penyebab, seperti: pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin dan bisa juga disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kalsifikasi kornea.
b. Gejala obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
1) Hiperemi
Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva.

Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis. Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar.
2) Perubahan kornea
· Keratik presipitat
Terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuoshumor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
­Baru dan lama : baru bundar dan berwarna putih. lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih.
­Jenis sel : lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan. Limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih. Makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat.
Ukuran dan jumlah sel : halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis, uveitis intermedia.
3) Kelainan kornea :
· Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
· Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea berupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel kornea.
4) Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin.
5) Iris
5.1. Hiperemi iris
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karena ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.
5.2. Pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri.
5.3. Nodul Koeppe :
Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Koeppe mengalami pigmcntasi baik pada permukaan atau lebih dalam merupakan hiasan dari iris.
5.4. Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.
5.5. Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.
5.6. Sinekia iris
5.7. Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil. ­
5.8. Atrofi iris
Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitel pigmen belakang. Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut disebabkan olch virus, terutama hcrpetik.
5.9. Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea.
6). Perubahan pada lensa
6.1. Pengendapan sel radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa.
6.2. Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa menunjukkan bekas sinekia posterior yang telah lepas. Sinekia posterior yang menyerupai lubang pupil disebut cincin dari Vossius.
6.3. Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit.
7). Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama oleh set limfosit, plasma dan makrofag.
8). Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis hipotoni, normal atau hiperton. Hipotoni timbul karena sekresi badan siliar berkurang akibat peradangan. Normotensi menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik depan mata. Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut iridokornea oleh sel radang dan fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan trabekula.

2. Uveitis intermediet
a. Gejala subjektif
Keluhan yang dirasakan pasien pada uveitis media berupa penglihatan yang kabur dan floaters. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan maupun fotofobia.
b. Gejala Objektif
Secara umum, segmen anterior tenang dan kadang-kadang terdapat flare di kamera okuli anterior. Dapat ditemukan pula sel dan eksudat pada korpus vitreus.

3. Uveitis Posterior
a. Gejala subjektif
Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat “lalat berterbangan” atau floaters. Penurunan visus dapat mulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah macula. Pada umumnya segmen anterior bola mata tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga sering kali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita.
b. Gejala obyektif
Lesi pada fundus biasanya dimuai dari retinitis atau koroiditis tanpa kompikasi. Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinokoroiditis, hal yang sama terjadi pada koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi lesi yang kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat disertai perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheathing pembuluh darah.
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena. 
Pemeriksaan Penunjang
1. Flouresence Angiografi
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal dan komplikasi ntraocula dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk ntraocula maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai adalah edema ntrao, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau retina, N. optikus dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan pelepasan retina
3. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan pemeriksaan laboratorium lainnya.
Diagnosis
Diagnosis uveitis ditegakkan berdasarkan anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang menyokong.
Diagnosis Banding
  1. Konjungtivitis
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, terdapat sekret dan umumnya tidak disertai rasa sakit, fotofobia atau injeksi silier
  1. Keratitis/ keratokonjungtivitis
Penglihatan dapat kabur pada keratitis, ada rasa sakit serta fotofobia.
  1. Glaukoma akut
Terdapat pupil yang melebar, tidak ada sinekia posterior dan korneanya beruap/ keruh.
  1. Neoplasma
Large-cell lymphoma, retinoblastoma, leukemia dan melanoma maligna bisa terdiagnosa sebagai uveitis.
Pengobatan
Pengobatan uveitis pada umumnya digunakan obat-obatan ntraoc. Seperti sikloplegik, OAINS atau kortikosteroid. Pada OAINS dan kortikosteroid, dapat juga digunakan obat-obatan secara sistemik. Selain itu, pada pengobatan yang tidak beresponsif terhadap kortikosteroid, dapat digunakan imunomodulator.
a. Mydriatik dan Sikloplegik
Midriatik dan sikloplegik berfungsi dalam pencegahan terjadinya sinekia posterior dan menghilangkan efek fotofobia sekunder yang yang diakibatkan oleh spasme dari otot siliaris. Semakin berat reaksi inflamasi yang terjadi, maka dosis sikloplegik yang dibutuhkan semakin tinggi
b. OAINS
Dapat berguna sebagai terapi pada inflamasi post operatif, tapi kegunaan OAINS dalam mengobati uveitis anterior endogen masih belum dapat dibuktikan. Pemakaian OAINS yang lama dapat mengakibatkan komplikasi seperti ulkus peptikum, perdarahan traktus digestivus, nefrotoksik dan hepatotoksik.
c. Kortikosteroid
Merupakan terapi utama pada uveitis. Digunakan pada inflamasi yang berat. Namun, karena efek sampingnya yang potensial, pemakaian kortikosteroid harus dengan indikasi yang spesifik, seperti:
· Pengobatan inflamasi aktif di mata
· Mengurangi ntraocula inflamasi di retina, koroid dan N. Optik
d. Imunomodulator
Terapi imunomodulator digunakan pada pasien uveitis berat yang mengancam penglihatan yang sudah tidak beresponsif terhadap kortikosteroid. Imunomodulator bekerja dengan cara membunuh sel limfoid yang membelah dengan cepat akibat reaksi inflamasi. Indikasi digunakannya imunomodulator adalah
1. Inflamasi ntraocular yang mengancam penglihatan pasien
2. Gagal dengan terapi kortikosteroid
3. Kontra indikasi terhadap kortikosteroid
Sebelum diberikan imunomodulator, harus benar-benar dipastikan bahwa uveitis pasien tidak disebabkan infeksi, atau infeksi di tempat lain, atau kelainan hepar atau kelainan darah. Dan, sebelum dilakukan informed concent.

Komplikasi
Apabila uveitis tidak mendapatkan pengobatan maka dapat terjadi komplikasi berupa:
  1. Glaukoma, peninggian tekanan bola mata.
  2. Katarak.
  3. Neovaskularisasi.
  4. Ablatio retina.
  5. Kerusakan nervus optikus.
  6. Atropi bola mata.
Namun terkadang peninggian tekanan bola mata dan katarak dapat muncul pada sebagian pasien yang telah mendapatkan pengobatan, tetapi hal ini dapat diatasi dengan terapi obat-obatan ataupun operasi. Komplikasi yang lain dapat muncul namun tidak selalu ada pada pasien dengan uveitis, komplikasi ini dapat dicegah dengan pemberian terapi yang sesuai untuk penderita uveitis.

Prognosis
Pada uveitis anterior gejala klinis dapat hilang selama beberapa hari hingga beberapa minggudengan pengobatan, tetapi sering terjadi kekambuhan. Pada uveitis posterior, reaksi inflamasi dapat berlangsung selama beberapa bulan hingga tahunan dan juga dapat menyebabkan kelainan penglihatan walaupun telah diberikan pengobatan.


Daftar Pustaka

1. Ilyas Sidarta, 2002. Radang Uvea. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2. Sagung Seto. Jakarta.
2. Ilyas Sidarta, 2006. Uveitis. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
3. Vaughan Daniel, 2000. Traktus Uvealis dan Sklera. Oftalmologi Umum. Wydia Medika. Jakarta
4. Gordon, Kilbourn. Iritis and Uveitis. EMedicine [Online] Available from : http://www.emedicine.com/emerg/byname/Iritis and Uveitis.htm. Accessed: 26/08/2008
5. Skuta Gregory, Cantor Luis, Weiss Jayne. 2008. Clinical Approach to Uveitis. Intraocular Inflammation and Uveitis. American Academy Ophtalmology. Singapura.
6. Suharjo, Gunawan. 2005. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif. Cermin Dunia Kedokteran. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2008


Original Resource:
http://blognyayoan.blogspot.com/2009/06/css-mata-uveitis.html

Selasa, 10 Juli 2012

SINDROM NEFROTIK

 oleh:
Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso

BATASAN

Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.1

 

ETIOLOGI

 

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
 Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).
Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
            Kelainan minimal (KM)
            Glomerulosklerosis (GS)
                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
            Glomerulonefritis kresentik (GNK)
            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran
                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
            Glomerulopati membranosa (GM)
            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya 5 menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer 6 di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a.   Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.
b.   Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
c.   Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
d.   Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e.   Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

 

PATOFISIOLOGI

 

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari  proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.7
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak  karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.8
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya  mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang  memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan  volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron  rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill  berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3

GEJALA KLINIS

       

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).9
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.9
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.9
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.9
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.9 Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting.  Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.2
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.9
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.1,5
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.

 

CARA PEMERIKSAAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

I.  Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,  perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

II.  Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang  ditemukan hipertensi. 
III. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya  normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.

DIAGNOSIS BANDING

1.      Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.
2.      Glomerulonefritis akut
3.      Lupus sistemik eritematosus.

Penyulit

1.      Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
2.      Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
3.      Infeksi
4.      Hambatan pertumbuhan
5.      Gagal ginjal akut atau kronik
6.      Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku.

 

PENATALAKSANAAN

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.

            Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :   
         
Tabel 2.  Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik

Remisi

Kambuh

Kambuh tidak sering

Kambuh sering

Responsif-steroid
Dependen-steroid

Resisten-steroid

Responder lambat

Nonresponder awal
Nonresponder lambat

Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
     3 hari berturut-turut.
Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal,  atau  ³ 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.



PROTOKOL PENGOBATAN
            International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.10
A.     Sindrom nefrotik serangan pertama
1.      Perbaiki keadaan umum penderita :
                          a.      Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
                         b.      Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat.
                          c.      Berantas infeksi.
                         d.      Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
                          e.      Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
2.      Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu  14 hari.
B.     Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
             1.     Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.
             2.     Perbaiki keadaan umum penderita.
a.      Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.
                                                    1.     Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
                                                    2.     Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.
b.     Sindrom nefrotik kambuh sering
                    adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan.
                                                      1.     Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
                                                      2.     Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid,  atau untuk biopsi ginjal.

PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10%  tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

DAFTAR PUSTAKA

1.          Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr  11 : 158-61.
2.          International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int  13 : 159.
3.          Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
4.          Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.
5.          Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia, 14 Oktober.
6.          Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46.
7.          A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr  98 : 561.
8.          Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.
9.          Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18] [(20) : screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm on September 16, 2002 at 08.57.
10.      Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To Date   2000; 8.