oleh:
Muhammad
Sjaifullah Noer, Ninik SoemyarsoBATASAN
Sindrom
nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg
berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang
dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai
pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.1
ETIOLOGI
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer, faktor
etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena
sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital,
yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir
atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada
sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International
Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan,
disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel
di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada
anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC
(International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan
Kleinknecht (1971).
Tabel
1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3
|
Kelainan
minimal (KM)
Glomerulosklerosis
(GS)
Glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis
fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis
proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis
proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis
kresentik (GNK)
Glomerulonefritis
membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP
tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP
tipe II dengan deposit intramembran
GNMP
tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati
membranosa (GM)
Glomerulonefritis
kronik lanjut (GNKL)
|
Sumber : Wila Wirya IG,
2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
|
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang
anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa
prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit
dibandingkan pada anak-anak.4
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom
nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya 5
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer 6 di Surabaya
mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul
sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai
sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering
dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin,
tumor gastrointestinal.
PATOFISIOLOGI
Proteinuria
(albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun
penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang
dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang
endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama
dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.7
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan
onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena
hilangnya a-glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal.8
Hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini
menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume
plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air
dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi
tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi
cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian
menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya
volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori
ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah
sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom
nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik
justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik
perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling
cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan
volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik
merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill
dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada
individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan
suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3
GEJALA KLINIS
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi
klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom
nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang
anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;
biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan
yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab
menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).9
Sembab berpindah dengan perubahan posisi,
sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan
kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak
bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita
dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS
atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih
hebat pada pasien SNKM.9
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam
perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab
masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri
perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang
kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena
edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama
pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan
hernia umbilikalis dan prolaps ani.9
Oleh karena adanya distensi abdomen baik
disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan
kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus
albumin dan diuretik.9
Anak sering mengalami gangguan psikososial,
seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres
nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien,
namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.9
Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada
95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum,
labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai,
dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi
pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak
tampak lebih pucat.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe
sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children
(SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik
lebih dari 90th persentil umur.2
Tanda utama sindrom nefrotik adalah
proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24
jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya
mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.9
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama
kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia
merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik
dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan
kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah
remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat
pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan
berbagai tipe sindrom nefrotik.1,5
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar
pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari
peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe
histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu
dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal
tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak
langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG
ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan
dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.
CARA PEMERIKSAAN
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
I. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak
di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai
jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin
berwarna kemerahan.
II. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat
ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
III. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif
(3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang
meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya
normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
DIAGNOSIS BANDING
1.
Sembab non-renal : gagal jantung kongestif,
gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.
2. Glomerulonefritis
akut
3. Lupus
sistemik eritematosus.
Penyulit
1.
Shock
akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
2.
Thrombosis
akibat hiperkoagulabilitas
3.
Infeksi
4.
Hambatan
pertumbuhan
5.
Gagal
ginjal akut atau kronik
6.
Efek
samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku.
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah
ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid,
karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila
gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi
terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah
seperti tercantum pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons
terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
|
|
Remisi
Kambuh
Kambuh
tidak sering
Kambuh
sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder
lambat
Nonresponder
awal
Nonresponder
lambat
|
Proteinuria negatif atau
seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari
berturut-turut.
Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40
mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami
remisi.
Kambuh < 2 kali
dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal, atau ³
4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya
dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh
berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari
setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi
meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah
4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi
awal.
Resisten-steroid terjadi pada
pasien yang sebelumnya responsif-steroid.
|
PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney
Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian
prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari
selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari
secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu
setelah itu pengobatan dihentikan.10
A. Sindrom nefrotik
serangan pertama
1. Perbaiki
keadaan umum penderita :
a.
Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam,
rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
b.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan
transfusi plasma atau albumin konsentrat.
c.
Berantas infeksi.
d.
Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari
komplikasi.
e.
Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah
baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau
mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
2.
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan
selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk
memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam
waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi
bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan
prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
B. Sindrom nefrotik kambuh
(relapse)
1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis
relapse ditegakkan.
2. Perbaiki
keadaan umum penderita.
a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom
nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa
12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan
dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan
dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu,
prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.
b. Sindrom
nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2
kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan
dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan
dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu,
prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1
minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48
jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu,
kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang
sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8
minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke
dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap
pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid, atau untuk biopsi ginjal.
PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada
keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di
bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%)
sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal
dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan
sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr
11 : 158-61.
2.
International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic
syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory
chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.
3.
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas
H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
4.
Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease :
Clinical Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive
Clinical Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.
5.
Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan
patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi.
Jakarta : Universitas Indonesia, 14 Oktober.
6.
Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto,
Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK
Universitas Airlanggap. 137-46.
7.
A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981.
The primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with
minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J
Pediatr 98 : 561.
8.
Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier
RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.
9.
Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002
Mar 18] [(20) : screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm
on September 16, 2002 at 08.57.
10. Niaudet
P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To Date 2000;
8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar